BILLAH

Pengertian Billah
BILLAH, artinya dalam segala kehidupan, gerak gerik kita atau perbuatan atau tindakan apa saja lahir batin, dimanapun dan kapanpun, supaya dalam hati senantiasa merasa bahwa yang menciptakan dan menitahkan serta menggerakkan itu semua adalah Alloh Maha pencipta. Jangan sekali-kali mengaku atau merasa bahwa kita mempunyai kemampuan sendiri.
Ini mutlak, dalam segala hal supaya merasa begitu. Baik dalam keadaan ta’at maupun ketika ma’siat, harus merasa Billah !. tanpa kecuali !. ini harus kita sadari !. karena sifat ma’ani dan ma’nawi adalah sifat wajib bagi Alloh dan muchal –tidak mungkin- bagi makhluk. Alloh berdiri sendiri, tidak membutuhkan dzat yang mendirikan, dan segala sesuatu selain Alloh adalah qooimun (berdiri) dengan Alloh (Billah). Maka tidak ada sesuatu di dalam wujud ini yang berdiri dengan dirinya sendiri kecuali hanya Alloh yang punya sifat Al-Chayyu Al-Qoyyum, berdiri dengan Dzat-Nya sendiri. Segala sesuatu yang hadist (baru) di alam semesta ini adalah perbuatan dan ciptaan Alloh. Tidak ada pencipta dan pembuat perkara baru kecuali hanya Alloh.
Alloh berfirman dalam QS As-Shoffat : 96 :
والله خلقكم وما تعملون
“Alloh-lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa yang kamu sekalian perbuat”.
Oleh sebab itu meskipun perbuatan seseorang itu kasab (tampak usahanya sendiri), perbuatan itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Alloh. Maka tidak terjadi pula ada suatu kegiatan di alam dunia dan alam malakut dalam sekejap mata dan sekedip pandangan kecuali dengan kepastian, keputusan dan kehendak Alloh.
Alloh berfirman dalam QS Ibrohim 4 :
فيضل من يشاء ويهدى من يشاء
“Alloh menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki”.
Alloh berfirman dalam QS At-Takwir 29 :
وما تشاءون الا ان يشاء الله رب العالمين
“Tidaklah kamu sekalian berkehendak, melainkan Alloh Tuhan semesta alma yang berkendak”.
Alloh berfirman dalam QS Al-Anfal 17 :
وما رميت اذ رميت ولكن الله رمى
“Dan tidaklah kamu melempar ketika kamu melempar, akan tetapi Alloh-lah yang melempar”.
Apabila seseorang telah menyadari yang demikian, maka ia akan mengetahui tentang hakikat, yang ada hanyalah Alloh dan tidak ada sesuatu yang bersama-Nya. Dan ketika itu pula akan terbuka bagi mata hatinya dengan menyadari bahwa sesungguhnya kekuasaannya adalah kekuasaannya Alloh, kehendaknya adalah kehendaknya Alloh, ilmunya adalah ilmunya Alloh, hidupnya adalah hidupnya Alloh, pendengaranya adalah pendengarannya Alloh, penglihatannya adalah penglihatannya Alloh dan bicaranya adalah bicaranya Alloh. Artinya, apabila ia berkuasa maka dengan kekuasaannya Alloh, berkehendak dengan kehendaknya Alloh, berilmu dengan ilmunya Alloh, hidup dengan hidupnya Alloh, mendengar dengan pendengarannya Alloh, melihat dengan penglihatannya Alloh dan berbicara dengan bicaranya Alloh; artinya “ BILLAH ”, sebagai penerapan kandungan kalimah “LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAH”.
Perasaan yang demikian itu harus diterapkan dan disadari dalam setiap keadaan dan setiap keluar masuknya nafas. Dan ketika sudah menyadari yang demikian itu, ia akan mengetahui bahwa semua sifat yang disandarkan kepada dirinya sebagaimana perkataan “kamu mengetahui”, “kamu mendengar” dan lain sebagainya, itu merupakan kata pinjaman dan majaz, dan penyandaranya kepada Alloh adalah melalui pandangan sebagai pemilik yang hakiki.
Rosul SAW bersabda :
يقول الله تعالى: لا يزال عبدى يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاذا أحببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها الحديث
(رواه البخارى عن ابى هريرة رضىالله عنه)
“Alloh berfirman : “ Hamba-hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunah hingga sampai Aku mencintainya. Maka ketika Aku mencintainya, Aku jadi pendengarannya ketika ia mendengar, Aku jadi penglihatnnya ketika ia melihat, Aku jadi tangannya ketika ia memukul dan Aku menjadi kakinya ketika ia berjalan”. (HR. Bukhori dari Abi Huroiroh ra).
Dan segala sesuatu dari kebaikan secara syari’at, maka kita menyandarkan kepada Alloh itu karena penciptaan, dan menyandarkannya kepada diri kita karena penempatan (sebagai tempat amal). Adapun untuk perkara jelek maka kita menyandarkan kepada diri kita karena mengikuti penyandarannya Alloh kepada diri kita (Lillah/karena perintah Alloh). Sedangkan melalui pandangan hakikat, kepemilikan, penciptaan dan perwujudan maka segala sesuatu (perkara baik dan jelek) adalah dari sisi Alloh.
Alloh berfirman dalam QS An-Nisa’ 78 :
وان تصبهم حسنة يقولوا هذه من عند الله, وان تصبهم سيئة يقولوا هذه من عندك, قل كل من عند الله
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka berkata; ‘ini adalah dari sisi Alloh’, dan jika mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka berkata; ‘ini dari sisi kamu sendiri –Muhammad-. Katakanlah ‘Semua itu –datang- dari sisi Alloh”.
Penyandaran segala sesuatu kepada Alloh dalam firman-Nya yang artinya: “katakanlah segala sesuatu itu dari sisi Alloh” adalah menurut pandangan hakikat, karena sesungguhnya Alloh yang menciptakan dan yang mewujudkan. Adapun penyandaran perkara jelek kepada seorang hamba dalam firman-Nya : “ apa yang menimpa dirimu dari kejelekan, itu dari dirimu sendiri” adalah melalui pandangan majaz (kiasan). Contohnya seperti orang yang mengasuh seorang anak yang bukan anaknya sendiri. Ketika ia ditanya “Apakah ini anak saudara……?. Lalu ia menjawab “Ya”. Jawaban ini adalah pernyataannya lisan, namun hatinya menyaksikan dan menyadari bahwa sesungguhnya anak itu bukan anaknya sendiri. Dan pengakuannya bahwa anak itu anaknya sendiri adalah karena perintah dari orang tua anak itu yang sebenarnya. Maka apabila ia tidak merasa demikian, ia adalah pendusta, karena mengakui sesuatu yang bukan miliknya menurut hukum syari’at dan hakikat.
Kerugian orang yang tidak sadar Billah
Orang yang tidak sadar Billah, sekalipun ia masih beriman, dia tidak lepas dari bahaya musyrik = mempersekutukan Alloh. Sekalipun syirik khofi (samar-samar)
Alloh berfirman dalam QS Yusuf 106 :
وما يؤمن أكثرهم بالله الا وهم مشركون
“Dan sebagaian besar dari mereka tidak sadar BILLAH melainkan mereka masih mempersekutukan Alloh”.
Alloh berfirman dalam QS An-Nisa’ 16 :
ان الله لا يغفر ان يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء, ومن يشرك بالله فقد ضل ضلالا بعيدا
“Sesungguhnya Alloh tidak memberi ampun sekiranya dipersekutukan dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa-dosa lain selain dosa syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Alloh, maka sungguh ia tersesat sejauh-jauhnya”.
Alloh berfirman dalam QS Al-Alaq 6-7 :
كلا ان الانسان ليطغى, ان رآه استغنى
“Ketahuilah sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”.
Yang dimaksud ayat ini adalah manusia benar-benar lacut dan kufur, karena melihat dirinya merasa cukup dengan dirinya sendiri, jauh dari Alloh (Binafsi). Maka semua orang yang berkeyakinan bahwa dia merasa cukup dengan dirinya sendiri (Tidak Billah) dalam sekejap mata, niscaya dia telah benar-benar lacut dan kufur, karena semua makhluk adalah membutuhkan Alloh dalam gerak dan diamnya (tidak bergerak dan diam kecuali hanya dengan Alloh, tidak dengan dirinya sendiri). Oleh sebab itu wajib bagi setiap orang mukallaf untuk mempelajari dan mengamalkan Ilmu Billah agar dia tidak lacut dan kufur, karena niatnya orang yang lacut dan kufur akan menimbulkan riya’, ujub dan takabbur. Sehingga dia tidak melihat dirinya sendiri kecuali dengan pandangan kebesaran, dan melihat orang lain dengan pandangan merendahkan, bahkan tidak terlintas dalam gerak hatinya kecuali ada rasa “Aku lebih baik, lebih mengetahui, lebih taqwa dan lebih mulya dari pada kamu..dsb.
Alloh berfirman dalam QS An-Najm 32 :
فلا تزكوا انفسكم, هو اعلم بمن اتقى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah (Alloh) yang paling mengetahui tentang orang-orang yang taqwa”.
Alloh berfirman dalam QS Az-Zumar 65 :
ولقد أوحى اليك والى الذين من قبلك لئن أشركت ليحبطن عملك ولتكونن من الخسرين
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada Nabi-nabi sebelummu: “Jika Engkau mempersekutukan Alloh (tidak sadar Billah), niscaya akan menjadi hapuslah amal-mu, dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang menderita kerugian”.
Rosul Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
ان قليل العمل ينفع مع العلم بالله وكثير العمل لا ينفع مع الجهل بالله
(رواه ابن عبد البر عن انس بن مالك)
“Sesungguhnya sedikit amal yang disertai sadar Billah itu bermanfaat adanya, dan sesungguhnya banyaknya amal yang dikerjakan dengan bodoh Billah (tanpa sadar Billah) itu tidak bermanfa’at adanya”. (HR. Ibnu Abdil Barri dari Anas Bin Malik)
Alloh berfirman dalam QS Al-Isro’ 39 :
ولا تجعل مع الله إلها آخر فتلقى فى جهنم ملوما مدخورا
“Dan janganlah kamu sekalian menjadikan Tuhan disamping Alloh; yang demikian itu menyebabkan kamu akan dilemparkan kedalam neraka jahanam dalam keadaan terkutuk dan dijauhkan dari rahmat Alloh”.
Ilmu Billah kewajiban pertama
Imam Ghozali berkata :
“Semua manusia telah ditanami iman Billah, bahkan ditanami ma’rifat untuk mengetahui segala sesuatu menurut iman Billah. Oleh sebab itu mengajar manusia dengan ilmu Billah adalah tidak bertentangan dengan batasan hukum syari’at, bahkan lebih sesuai dengan pembawaan manusia itu sendiri”.
Alloh berfirman dalam QS Ar-Rum 30 :
فطرة الله التى فطر الناس عليها
“Tetaplah atas fitroh Alloh, yang menciptakan manusia menurut fitroh itu”.
Rosul SAW bersabda :
كل مولود يولد على الفطرة الحديث
(رواه البخارى )
“Semua bayi itu dilahirkan berdasarkan atas fitroh”. (HR. Bukhori)
Yang dimaksud fitroh adalah naluri atau pembawaan yang ada dalam jiwa seorang anak. Dan dengan fitroh itu ia telah siap untuk ma’rifat kepada Tuhannya. Maka mengajar seorang anak dengan ilmu Billah adalah tidak keluar dari batasan hukum syari’at, bahkan sangat sesuai dengan naluri dan pembawaannya. Karena apabila selama naluri dan pembawaan seorang anak itu tetap pada keadaannya, maka jiwanya akan tetap berada diatas kebenaran dan tuntunan agama islam, dan tidak ada yang menutupi jiwanya dari kebenaran dan tuntunan agama islam setelah ia dewasa, melainkan keragu-raguan yang ditanam oleh syaithon.
Sedangkan ma’rifat kepada Alloh itu adalah fardu a’in bagi orang yang sudah baliq, termasuk bagi seorang anak. Pendapat ini menurut para Ulama Madzab Hanafi dan Ulama Iraq. Karena kewajiban beriman bagi orang baliq itu dengan mengambil pengertian akal. Maka apabila seorang anak sudah berakal, maka wajib bagi dirinya untuk ma’rifat kepada Alloh. Oleh sebab itu belajar ilmu Billah adalah fardu a’in, bahkan menjadi kewajiban pertama bagi setiap orang mukallaf, karena bodoh Billah adalah haram, sedangkan ma’rifat Billah adalah wajib. Dan ibadah kepada Alloh itu terhenti pada ma’rifat, maka orang yang tidak ma’rifat kepada Alloh ia termasuk orang yang tidak ibadah kepada-Nya. Sebab firman Alloh QS. Adz-Dzariyat 56: artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar supaya mereka beribadah”, menurut Ibnu Abbas mempunyai pengertian “kecuali agar supaya mereka ma’rifat”. Maka orang yang tidak ma’rifat kepada Alloh hukumnya sama saja dengan tidak ibadah. Padahal iman (keyakinan) itu mengikuti (didahului) oleh ma’rifat, maka bagaimana kita akan menyembah Alloh yang kita tidak ma’rifat (mengenal) kepada-Nya, dan ketika kita meyakini Alloh dan sifat-sifat-Nya dengan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, maka ibadah kita seperti debu yang dihambur-hamburkan angin tidak ada gunanya.
Kewajiban Penerapan Lillah Billah
Lillah Billah itu syari’at dan hakikat. Ibarat berlakunya dhohiriyah dan bathiniyah. Amal Lillah adalah amal yang memenuhi hukum lahiriyah, sedangkan amal Billah memenuhi hukum bathiniyah.
Oleh sebab itu kewajiban seseorang itu ada dua perkara. Pertama, menjalankan perintah dalam lahiriyah; yaitu ta’at karena perintah Alloh. Kedua, bergantungan dengan Alloh dalam bathin; yaitu merasa butuh kepada Alloh dari pada selain-Nya. Dan salah satu dua perkara tersebut tidak bisa terpisahkan dari pemiliknya sebagaimana kedudukannya islam dan iman. Maka Lillah Billah harus diterapkan serempak bersama-sama. Hanya Lillah saja tanpa Billah; berbahaya !. bahayanya yaitu antara lain ‘Ujub, riya’, takabbur dan sebagainya. Begitu juga hanya Billah saja tanpa Lillah, menjadi batal karena tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan Alloh.
Sebagaian Ulama berkata :
“Barangsiapa bersyari’at tanpa hakikat, ia adalah fasiq, dan barangsiapa berhakikat tanpa bersyari’at, ia adalah kafir zindiq (pura-pura iman)”.
Imam Abu Abdillah Malik ibnu Anas berkata :
“Barangsiapa berfiqh tanpa bertasawuf, ia adalah fasiq, dan barangsiapa bertasawuf tanpa berfiqh, ia adalah zindiq, dan barangsiapa melaksanakan keduanya, maka ia adalah sebagai orang yang benar-benar beragama islam”.
Dan menurut kitab syarah Hikam Ibnu Ibad bahwa semua amal yang tidak ada keikhlasan didalamnya; yaitu tidak dijiwai Billah dan Lillah, maka amal tersebut akan dikembalikan dan dipukulkan kewajah orang yang beramal.

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR!!!

Follow us on Twitter! Follow us on Twitter!
Replace this text with your message