MERAIH KEMENANGAN DENGAN KEKUATAN DOA

Saat ini manusia hidup dalam suasana materialisme. Maksud dari materialisme di sini adalah bahwa manusia modern saat ini meletakkan faktor-faktor yang tertangkap oleh akal dan panca indera sebagai faktor penting dalam kehidupan mereka. Segala keputusan mereka selalu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat materi ini. Baru ketika faktor-faktor materi ini hilang, mereka mulai menengok cara-cara pemecahan masalah melalui pendekatan spiritual atau kerohanian. Misalnya melalui doa, istighotsah, istikharah atau lelaku spiritual lainnya.


Walaupun demikian, mereka ini masih mending. Hal ini karena sebagian besar masyarakat modern ini meletakkan faktor-faktor fisik sebagai satu-satunya alat dan pertimbangan dalam menanggapi permasalahan kehidupan. Ketika faktor-faktor ini tidak mereka dapatkan, mereka menjadi putus asa. Bahkan tak jarang keputusasaan ini menimbulkan berbagai penyimpangan kejiwaan. Seperti depresi, shock atau bahkan bisa mengarah kepada tindak bunuh diri.

Dan ternyata keadaan ini banyak terjadi di berbagai negara yang secara fisik maju. Di negara-negara yang saat ini menjadi kiblat kemajuan materi, seperti Amerika atau Jepang, bunuh diri telah menjadi penyakit sosial yang cukup serius. Dan hal ini bukan hanya menimpa kalangan rakyat jelata. Bahkan hingga menimpa kalangan super elit.

Di Jepang misalnya, pada awal 2007 ini publik dikejutkan oleh tindakan bunuh diri oleh Menteri Perdagangan Jepang. Beberapa tahun sebelumnya, sekitar tahun 2000-an, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang konglomerat nasional, Marimutu Marimaren. Jika kita menarik lebih ke belakang lagi, peristiwa bunuh diri di kalangan elit sudah bukan asing lagi. Di era tahun 60-an, masyarakat dikejutkan oleh bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang super star Amerika, Merlyn Monroe. Berbagai peristiwa ini menjadi petunjuk kuat bahwa memandang faktor materi sebagai satu-satunya rujukan dalam kehidupan akan membawa petaka bagi manusia.

KEDUDUKAN DOA DALAM ISLAM

Dalam Islam, Allah memandang segala permasalahan secara adil. Aspek-aspek fisik dan aspek-aspek ruhani mendapat perhatian yang berimbang. Islam sangat memperhatikan aspek fisik ini dalam kehidupan, hingga Allah berfirman: “Dan bersungguh-sungguhlah kalian (berjihadlah kalian) dengan harta dan diri kalian.” (QS. Al An’am:72). Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah dalam semua bidang.”

Walaupun demikian, Allah juga membimbing kaum Muslimin untuk menggunakan potensi doa secara maksimal. Allah menantang hamba-Nya untuk meminta, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kalian, maka Aku akan mengabulkan doa untuk kalian.” (QS. Al Mukmin:60).

Bukan hanya sampai di sini. Dalam pandangan Rasulullah SAW, doa bahkan menempati kedudukan yang paling inti dalam agama. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda:

“Doa adalah intisari ibadah.” (HR. Tirmidzi/Shahih).

Ada beberapa hal yang kurang lebih melatarbelakangi sabda ini. Pertama adalah bahwa seorang yang berdoa berarti meyakini adanya Allah. Artinya, ketika seseorang itu berdoa, berarti ada keimanan di dalam hatinya. Tidak mungkin orang yang tidak meyakini adanya Allah akan berdoa. Karena bagi mereka yang tidak meyakini adanya Allah, untuk apa memohon pertolongan dengan sesuatu yang tidak nyata. Atau lebih ekstrim lagi adalah, untuk apa seseorang berdoa kepada sesuatu yang tidak ada.

Kedua, ketika seseorang berdoa, berarti ia meyakini sifat-sifat Allah SWT. Ia meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mendengar. Karena itu ia memohon dengan kata-kata. Ia meyakini bahwa Allah bersifat Welas Asih. Karena itu, seorang pendoa tidak pesimis dari Allah. Hatinya senantiasa penuh harap kepada Allah.

Ketiga, seseorang yang berdoa berarti mengakui keterbatasan kekuatannya. Bahkan bagi kalangan yang lebih tinggi lagi tingkatan spiritualnya, berdoa berarti pengakuan atas ketidakberdayaan total pada dirinya. Ia meyakini bahwa kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata. Hingga ia merasa tidak lagi membutuhkan siapa pun, kecual Allah SWT. Ini adalah tingkat spiritualitas yang sangat tinggi dalam Islam.

Dari ketiga hal di atas, dapat diketahui bahwa doa merupakan salam satu ciri khas seorang mukmin. Kehidupannya selalu merupakan keseimbangan antara upaya lahiriyah dan doa. Dengan demikian, seluruh potensi hidupnya lahir dan batin dapat ia pergunakan secara total dan sempurna.

ANTARA DOA DAN RIDHO

Ada dua hal yang diajarkan Islam yang kelihatannya berlawanan, yaitu ridho dan doa. Ridho artinya seseorang itu menerima apapun pemberian Allah pada dirinya. Hal ini muncul karena seorang mukmin akan senantiasa memandang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana (Al Hakiim), Maha Mencintai Hamba-Nya (Al Waduud) dan Maha Pengasih Penyayang (Rahmaan Rahiim). Karena itu, bagi penilaian sebagian orang, sangat tidak patut jika seseorang memprotes keputusan Allah dengan berdoa. Bukankan doa pada dasarnya adalah meminta? Dan ketika meminta, berarti seseorang memandang bahwa pemberian Allah itu kurang? Atau bisa juga berarti bahwa keputusan Allah itu tidak bijaksana? Hingga bagi kelompok itu, ridho lebih baik dari pada doa.

Sebagian lain mengatakan bahwa doa lebih baik daripada diam dengan alasan ridho. Hal ini karena doa adalah perilaku para hamba pilihan Allah. Para ulama’, orang-orang shaleh dari masa ke masa, para Nabi dan Rasul, bahkan hingga manusia yang paling sempurna, Rasulullah SAW masih berdoa. Padahal mereka adalah makhluk Allah yang utama dan terbaik. Bukan hanya itu saja. Allah Ta’ala dan Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk berdoa. Lantas, pantaskah seseorang tidak berdoa kepada Allah? Patutkah dengan berbagai kenyataan seperti ini jika kemudian seseorang meninggalkan doa?

Sebenarnya, antara doa dan ridho adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. Sebagaimana pertentangan antara hitam dan putih, atau pertentangan antara siang dan malam. Seseorang yang ridho bukan berarti harus meninggalkan doa. Sebaliknya pun demikian juga. Seseorang yang berdoa bukan berarti ia tidak ridho. Hal ini karena doa dan ridho memiliki wilayah yang berbeda.

Seseorang memang harus ridho dengan ketetapan Allah, baik yang sudah lewat atau yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, ketetapan dan pilihan Allah pasti lebih baik daripada ketetapan dan pilihan manusia. Namun perlu juga diingat, bahwa doa adalah perintah Allah. Dan pelaksanaan perintah Allah harus menjadi prioritas seorang mukmin. Di samping doa juga merupakan sunnah (tradisi) Rasulullah SAW. Dan melaksanakan sunnah Rasulullah SAW juga merupakan perintah Allah.

Karena itulah, seseorang yang berdoa seharusnya lebih memfokuskan diri pada niat menanti perintah Allah (Lillah). Tegasnya, ia berdoa adalah semata-mata karena melaksanakan perintah Allah untuk berdoa. Apapun hasil dari doa itu, semuanya ia serahkan kepada Allah. Apakah Allah akan memberinya sebagaimana redaksi doa yang ia ucapkan, atau Allah memberi dalam bentuk lain, semua itu akan ia terima dengan penuh ridho kepada Allah.

ADAB-ADAB DALAM BERDOA

Seseorang yang berdoa berarti ia sedang melakukan hubungan dengan Allah SWT. Sudah tentu ada aturan main agar hubungannya dengan Allah tersebut membuahkan hasil sebagaimana yang ia dambakan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang dapat mempercepat terkabulnya sebuah doa.

Pertama, seorang pendoa hendaklah memperhatikan benar-benar waktu-waktu yang mustajabah (waktu-waktu istimewa dimana doa dikabulkan). Seperti hari Arofah, bulan Ramadhan, hari Jum’at terutama saat Khatib duduk di antara dua khutbab, dan waktu sahur. Ini adalah waktu-waktu istimewa dimana doa dikabulkan berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.

Kedua, seorang yang ingin doanya dikabulkan, hendaklah memanfaatkan keadaan-keadaan istimewa dimana sebuah doa dikabulkan. Misalnya, saat peperangan akan dimulai, saat turun hujan, saat seseorang berpuasa atau waktu antara adzan dan iqomat.

Ketiga, berdoa dengan menghadap kiblat dengan mengangkat kedua tangan hingga kira-kira ketiak kelihatan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Hidup lagi Dermawan. Ia malu jika hamba-Nya berdoa sambil mengangkat tangan memohon kepada-Nya, kemudian menolaknya sama sekali” (HR. Al Hakim/Shahih).

Keempat, merendahkan suara antara samar dan keras. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Dia (Allah) yang engkau doa bukanlah Tuhan yang tuli dan jauh. Sesungguhnya Dia (Dia) Allah yang engkau doa berada di hadapan kalian….” (HR. Bukhari).

Kelima, tidak memaksakan diri berdoa dengan redaksi yang bernilai sastra jika hal ini menimbulkan kekurangkhusyuan berdoa. Berdoa dengan sastra yang baik hendaknya muncul sebagai suatu spontanitas. Bukan dibuat-buat. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Jagalah kalian dari memaksakan diri bersajak didalam berdoa.” (HR. Bukhari).

Keenam, merasa rendah hati dan hina sehina-hinanya (tadzallul), merasa seperti benar-benar di hadapan Allah wa Rasulihi SAW (istidlor), merasa berlarut-larut penuh dosa (tadhollum), penuh sesal atas dosa-dosa yang dilakukan (inkisar), khusyu’, penuh harap atas pertolongan Allah (iftiqor) dan penuh perasaan takut kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Memohonlah kalian kepada Tuhan kalian dengan tadhorru’ (merendah)….” (QS. Al A’raaf: 54).

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW memberi peringatan:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima doa dari hati yang lupa.” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim).

Sebagian Aulia juga mengatakan:

“Fadlol-Nya Allah (termasuk maghfirah, taufiq, hidayah, inayah, rahmat dan sebagainya) tidak akan diberikan kecuali kepada hati yang sungguh-sungguh ‘nelongso’ merasa penuh dosa dan sangat mengharap pertolongan Allah.” (Taqribul Ushul: 217).

“Menghadap (termasuk berdoa) kepada Allah dan berwasilah dengan Rasulullah SAW dengan sungguh-sungguh tadzallul, merasa hina, ‘nelongso’ merasa penuh dosa dan sangat mengharap pertolongan Allah serta merasa tidak punya daya dan kekuatan, adalah pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat.” (Taqribul Ushul: 156).

Ketujuh, jangan berdoa disertai dengan sikap pesimis/tidak yakin dengan pertolongan Allah. Seseorang yang ingin doanya dikabulkan haruslah yakin bahwa doanya akan dikabulkan. Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah berfirman:

“Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku.”

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

“Jika kamu berdoa, maka yakinlah doamu itu pasti diijabah.” (Riwayat dari Abi Hurairoh).

Artinya adalah jika kita yakin doa kita dikabulkan, maka Allah pun akan mengabulkan doa tersebut. Sebaliknya, jika seseorang tidak yakin bahwa doanya tidak dikabulkan, maka Allah pun juga tidak mengabulkan doanya.

Kedelapan, hendaknya tidak menganggap terlambat datangnya pertolongan Allah. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Doa kalian pasti dikabulkan selama kalian tidak tergesa-gesa. Yaitu ia mengatakan, aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan. Ketika engkau berdoa, maka berdoalah yang banyak karena sesungguhnya kalian meminta kepada Tuhan Yang Maha Dermawan.” (HR. Bukhari/Shahih). Bahkan hendaknya ketika doa belum dikabulkan, seorang hamba tetap terus menerus berdoa dengan berulang-ulang (ngengkel dalam bahasa Jawa). Rasulullah SAW ketika berdoa pun juga mengulang-ulang hingga tiga kali. Dalam sebuah haditsnya, beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang terus mendesak (ngengkel) dalam berdoa.” (HR. Suyuthi/Shahih).

Kesembilan, doa itu hendaknya diawali dengan memuji asma Allah dan bershalawat kepada Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana hadits:

“Doa segala macamnya itu terhijab/terhalang, hingga permulaannya berupa pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan shalawat kepada Nabi SAW, kemudian berdoa, maka doa itu diijabahi.” (HR. Imam Nasa’i).

Kesepuluh, bertaubat terlebih dahulu dengan beristighfar kepada Allah dan menghentikan kedzaliman serta mengembalikan hasil kedzalimannya kepada pemiliknya. Jangan sampai seseorang berdoa, sementara makanannya makanan haram atau pakaiannya yang berasal dari harta yang haram.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berusaha memecahkan masalah dengan memohon kepada Allah Ta’ala dalam bentuk berbagai redaksi doa. Dan setelah doa kita baca berulang-ulang, seringkali berbagai masalah tersebut bukannya terpecahkan, malah semakin menjadi-jadi.

Bila seseorang menghadapi keadaan seperti ini, sebelum berpikiran negatif yang macam-macam, sebaiknya direnungkan terlebih dahulu rizki yang dia dapatkan. Apakah dari praktek yang halal atau dari praktek yang haram. Sebab Rasululah SAW bersabda,

“Banyak orang yang berambut acak-acakan, berdebu dan ditolak oelh manusia dalam perjalanannya (mungkin karena tirakat atau memang pada posisi sebagai orang tertindas), makanannya sesuatu yang haram, pakaiannya dari rizki yang haram, diberi makan dari sumber yang haram. Dia mengangkat tangannya sambil berdoa: ‘Yaa Robb, Yaa Robb.’ Bagaimana orang seperti ini dikabulkan doanya karena hal yang demikan itu?” (HR. Muslim).

DAPATKAH DOA MERUBAH NASIB?

Nas-nas Al Quran dan sunnah menunukkan bahwa tidak ada satupun kejadian di jagat raya ini yang di luar skenario dan kendali Allah SWT. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Dan di sisi-Nya kunci-kunci keghaiban yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Ia (Allah). Dan ia mengetahui apa yang ada di darat, dan di laut. Dan tidaklah daun apa saja yang gugur kecuali Allah mengetahuinya. Dan tidak juga gugur sebuah biji dalam kegelapan bumi, dan tidak pula yang basah atau kering (gugur) kecuali semua itu telah ada dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfudz).” (QS. Al An’am: 59).

Dalam menafsiri ayat ini, Abdullah bin Abbas RA berkata, ”Allah menciptakan tinta dan papan. Maka Allah menuliskan di dalamnya perkara dunia hingga apa yang terakhir dari penciptaan makhluk, rizki yang halal, rizki yang haram , amal yang baik atau kedurhakaan.” (Tafsir Ibnu Katsir/II/168). Dari sini dapat disimpulkan bahwa apapun yang terjadi pada makhluk, baik itu besar atau kecil, sedikit atau banyak, semua telah ditentukan oleh Allah SWT.

Kedudukan doa di sini adalah bahwa seseorang berdoa memang bukan bertujuan untuk merubah nasibnya. Karena nasib yang telah ditentukan Allah tidak bisa dirubah oleh siapapun. Bahkan doa itu sendiri juga merupakan bagian dari nasib. Sekali lagi, seseorang yang berdoa seharusnya meniatkan doanya sebagai ketaatan terhadap perintah Allah untuk berdoa. Bukan keinginan yang lain-lain.

Walaupun demikian, keberadaan sebuah doa bukan berarti kesia-siaan. Sebab, doa juga merupakan tanda-tanda datangnya pertolongan Allah SWT. Sebagaimana adanya mendung di langit, menjadi isyarat akan turun hujan. Atau sebagaimana terbitnya fajar pagi, menjadi isyarat akan terbitnya matahari. Baukankah Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-hambaNya? Sebaliknya, keengganan seseorang untuk berdoa juga merupakan isyarat akan tertutupnya seseorang dari pertolongan Allah SWT. Dan Allah juga berjanji tidak akan mengingkari janji-Nya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa mereka yang oleh Allah diberikan ilham untuk berdoa, pastilah Allah telah menggariskan untuknya anugerah sebagaimana Allah janjikan. Seperti ungkapan seorang penyair Arab:

Andaikan Engkau tidak menghendaki
Tercapainya apa yang aku harap dan aku cari,
yaitu anugerah-anugerah dari kedermawanan-Mu
maka engkau tentu tidak mengilhamkan aku untuk
berdoa kepada-Mu.

Ketika Anda berdoa, sebenarnya saat itu anugerah-anugerah Allah sudah disiapkan untuk Anda. Jadi untuk apa berputus asa. Ayo, teruslah berdoa….!! (Zk)

Diambil dari Majalah AHAM EDISI 74 | TH.IX | DZULQO’DAH 1428
aham_wahidiyah@yahoo.com


COPYRIGHT © 2009
PENGAMALWAHIDIYAH.ORG

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR!!!

Follow us on Twitter! Follow us on Twitter!
Replace this text with your message