- ”Lihatlah orang yang
lebih rendah dari kalian, dan janganlah kamu melihat orang yang lebih
tinggi dari kalian, karena yang demkian itu lebih baik supaya kalian
tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian. (HR. Muslim).
Dalam haditsnya yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
- ”Jika salah seorang
kalian melihat kepada mereka yang dilebihkan dalam harta dan akhlak
perilaku, maka hendaklah ia juga melihat orang yang lebih rendah
darinya dan yang lebih rendah juga dari orang yang dilebihkan tadi.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits ini menawarkan resep kebahagiaan yang ternyata sederhana,
yakni dengan berlaku bersyukur terhadap nikmat yang telah
dikaruniakan oleh-Nya. Kunci kebahagiaan seseorang dalam menjalani
hidup ini berpangkal dari keridhaannya. Istilah lainya nerimo.
Keridhaan ini berguna untuk menjadi mesin pendorong rasa syukur
terhadap segala nikmat yang telah dikaruniaakan terhadap dirinya, baik
dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Melihat kepada yang lebih rendah utamanya dalam hal keduniawian – akan
lebih banyak faedahnya daripada kerap mendongak (melihat) ke atas.
Disamping akan terhindar dari perasaan iri, dengki dan rakus, juga
akan menumbuhkan rasa syukur kepada nikmat yang telah diberikan Allah
kepada kita.
“Alhamdulillah, saya bisa sekolah, teman saya baru saja DO (drop out).
Alhamdulillah, saya sudah kerja, sementara teman saya masih nganggur.
Alhamdulillah, saya masih bisa berjalan, baru-baru ini teman saya
kena stroke ndak bisa jalan… dan seterusnya.” Seperti inilah nantinya
rasa syukur itu akan tumbuh, buah dari seringnya kita melihat ke
bawah.
Bagi orang yang selalu nggersulo, tidak terima dengan nikmat yang
diberikan, ia akan selalu susah dalam melalui hari-hari hidupnya. Ada
rasa sedih, menyesal, yang kemudian tersulut menjadi api kedengkian.
Setiap orang yang ada dihadapanya seakan-akan berubah menjadi
membosankan dan menyebalkan. Sehingga ia akan kerap merasa menderita,
gelisah dan tak terpuaskan. Orang seperti ini rasanya tak seharipun
punya kebahagiaan, yang didapatinya adalah suasana serba sumpek dan
sempit. Bahkan sekalipun telah dikaruniai kehormatan hidup, ia merasa
bosan dan jiwanya berpaling dengan apa yang tidak ada dalam dirinya.
Meski ditanganya tergenggam nikmat, tetapi mata dan hatinya berpaling
dari itu semua.
Dalam hal tertentu, kita dianjurkan untuk melihat keatas. Ini untuk
menjadikan pelajaran agar kita terus meningkat, memiliki himmah yang
besar sehingga kita bisa mencapainya. Melihat ke atas disini adalah
dalam hal keimanan dan kesadaran, keilmuan, semangat, akhlak dan amal
shalih.
Bahkan dalam berbagai kesempatan, Romo Yahi RA seringkali menyampaikan kisah orang-orang “hebat”
dalam hal riyadhah dan mujahadah untuk dicontoh, ditiru, diteladani,
bahkan membuat kita iri hingga didalam hati timbul semacam bronto =
mengapa mereka bisa sementara saya tidak. Sering-sering melihat keatas
untuk memacu semangat mujahadah, semangat riyadhah, semangat berjuang,
semangat belajar, semangat beramal shaleh seperti ini adalah sangat
dianjurkan.
Maka kesimpulanya: dalam hal keduniawian, seseorang dilarang untuk
tidak melihat keatas. Sebab hal itu akan menumbuhkan sifat iri,
dengki, menghilangkan rasa syukur dan menyusahkan diri sendiri. Terima
dan syukuri apa yang diberikan Allah. Karena Allah telah berjanji,
- ”Jika sekiranya kalian
bersyukur, niscaya akan Aku tambah nikmat-nikmat yang telah Ku berikan
itu. Dan jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Namun dalam hal akhirat dan kemaslahatan; kita dianjurkan untuk
melihat ke atas, agar menjadi motivasi dan himmah, hingga kita juga
bisa melakukanya. Nah, sekarang, apakah selama ini kita lebih sering
melihat keatas dalam hal keduniawian, atau sebaliknya? Kurang lebihnya
seperti itulah gambaran apa yang terjadi nanti. Allahu a’lam