Nama lengkapnya Abu Bisyr bin Al Harits Al Hafi. Beliau
lahir sekitar tahun 150 H/767 M di dekat Kota Merv.
Belajar hadits di Baghdad dan menetap di sana. Di usia
muda, beliau terkenal sebagai pemuda berandal dan suka
mabuk-mabukan. Namun setelah sadar, pendidikan formal
yang sedang ditekuninya, juga kehidupan malam yang suram
ditinggalkannya. Beliau lalu mengasah ruhaninya dengan
disiplin diri yang kuat. Hidup sebagai pengemis yang
terlunta-lunta, kelaparan, dan bertelanjang kaki.
Bagaimana jalan hidup Bisyr, manusia berkaki telanjang
yang sangat dikagumi Imam Ahmad bin Hambal dan dihormati
oleh Khalifah Al Makmun? Inilah kisahnya.
TAUBATNYA MANUSIA BERKAKI TELANJANG
Syekh Bisyr muda adalah seorang pemuda berandalan.
Hampir tiap malam waktunya dihabiskan di Bar dan
menenggak minuman keras sampai mabuk. Suatu hari, dalam
keadaan mabuk dan langkah terhuyung-huyung ia menemukan
secarik kertas bertuliskan “Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang”. Bisyr lalu memberi minyak
mawar dan memerciki kertas tersebut dengan minyak lalu
menyimpannya dengan hati-hati di rumahnya.
Malam harinya, seorang spiritualis bermimpi. Dalam
mimpinya ia diperintahkan Allah untuk mengatakan kepada
Bisyr, “Engkau telah mengharumkan nama-Ku, maka Akupun
telah mengharumkan dirimu. Engkau telah memuliakan
nama-Ku, maka Akupun telah memuliakan dirimu. Engkau
telah mensucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya
Kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.”
“Bisyr adalah seorang pemuda berandal,” pikir sang
spiritualis
“Mungkin aku telah bermimpi salah.”
Oleh karena itu, sang spiritualis segera bersuci,
shalat, kemudian tidul kembali. Namun tetap saja mimpi
serupa hadir lagi. Hal itu berulang sampai tiga kali.
Keesokan harinya ia maencari Bisyr. Ia bertanya pada
seseorang dan mendapat jawaban, “Bisyr sedang
mengunjungi pesta buah anggur.”
Maka pergilah sang spiritualis yang dikenal sebagai
manusia suci di daerahnya itu ke rumah orang yang sedang
berpesta itu. Sesampai di sana ia bertanya, “Apakah
Bisyr berada di tempat ini?”
“Ada, tetapi ia dalam keadaan mabuk dan lemah tak
berdaya.”
“Katakan kepada Bisyr, bahwa ada pesan yang hendak
kusampaikan padanya,” kata manusia suci itu.
“Pesan dari siapa,” tanya Bisyr.
“Dari Allah!” Jawab si manusia suci.
“Aduhai!” Seru Bisyr dengan air mata berlinang.
“Apakah pesan untuk mencela atau menghukum diriku? Tapi
tunggu sebentar, aku akan pamit kepada sahabat-sahabatku
dahulu.”
“Sahabat-sahabat, aku dipanggil. Oleh karena itu, aku
harus meninggalkan tempat ini. Selamat tinggal! Kalian
tidak akan pernah melihat diriku lagi dalam keadaan
seperti ini!” Ia berkata kepada teman-teman minumnya.
Sejak saat itu, tingkah laku Bisyr berubah seratus
delapan puluh derajat. Pemuda berandalan itu menjadi
demikian alim, shalih dan wara’. Sehingga tak seorangpun
yang mendengar namanya tanpa kedamaian Ilahi menyentuh
hatinya. Bisyr telah menempuh jalan penyangkalan diri.
Sedemikian asyiknya ia bertawajuh ke hadirat Allah
hingga mulai saat itu ia tak pernah lagi memakai alas
kaki. Itulah sebabnya Bisyr mendapat julukan “Manusia
Berkaki Telanjang”.
Bila ditanya, “Bisyr, mengapa engkau tak pernah memakai
alas kaki?” Jawabnya adalah, “Ketika aku berdamai dengan
Allah, aku sedang berkaki telanjang. Sejak saat itu aku
malu mengenakan alas kaki. Apalagi, bukankah Allah Yang
Maha Besar telah berkata, “Telah Kuciptakan bumi sebagai
permadani untukmu. Dan bukankah tidak pantas apabila
berjalan memakai sepatu di atas permadani Raja?”
Konon Imam Ahmad bin Hambal sering mengunjungi Bisyr.
Sang Imam begitu mempercayai kata-kata Bisyr. Hal itu
menyebabkan murid-muridnya tidak senang hingga pernah
mencela tindakan gurunya.
“Wahai guru, di zaman ini tak seorangpun yang dapat
menandingimu dibidang hadits, hukum, teologi, dan setiap
cabang ilmu pengetahuan. Tapi mengapa setiap saat engkau
menemani seorang berandal? Pantaskah perbuatanmu itu?”
“Mengenai setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, aku
memang lebih ahli daripada Bisyr.” Jawab sang Imam.
“tetapi mengenai Allah, ia lebih ahli daripada aku.”
Ahmad bin Hambal sering memohon kepada Bisyr, “Ceritakan
kepadaku perihal Tuhanku.”
SI MISKIN YANG EMPATI KEPADA ORANG MISKIN
Dikisahkan, selama 40 tahun Bisyr sangat menginginkan
daging panggang, tetapi ia tidak mempunyai uang untuk
membelinya. Bertahun-tahun ia ingin memakan kacang
buncis, tetapi tak sedikitpun ada yang dimakannya.
Padahal, kalu Bisyr mau, sebagai orang yang selalu
menghadap kepada Allah, dia tinggal memohon kepada Allah
apa yang diinginkannya. Tapi dia tidak mau melakukannya.
Jalan hidup penyangkalan dirinya yang begitu kuat
membuat dia juga berpantang meminum air dari saluran
yang ada pemiliknya.
Empatinya kepada kaum fakir miskin begitu luar biasa.
Pernah salah seorang tokoh suci sedang bersama Bisyr
dalam suasana cuaca yang sangat dingin sekali. Semua
orang mengenakan jaket tebal. Tetapi Bisyr malah melepas
pakaiannya sehingga tubuhnya menggigil kedinginan.
“Abu Nashr,” tegur orang suci. “Dalam cuaca dingin
seperti ini orang-orang melapisi pakaian mereka, tetapi
engkau malah melepaskannya.”
“Aku teringat kepada orang-orang miskin,” jawab Bisyr.
“Aku tidak mempunyai uang untuk menolong mereka, oleh
karena itulah aku ingin turut merasakan penderitaan
mereka.”
TAWAKAL TIADA TARA
Syekh Bisyr bin Harits adalah orang yang menggantungkan
hidupnya kepada Allah semata. Tawakalnya sungguh luar
biasa. Hal ini dapat kita temui dalam kisah berikut:
Beberapa orang mengunjungi Bisyr dan berkata, “Kami
datang dari Syiria hendak pergi menunaikan ibadah haji.
Sudikah engkau menyertai kami?”
“Dengan tiga syarat,” jawab Bisyr. “Yang pertama, kita
tidak akan membawa perbekalan. Kedua, kita tidak meminta
belas kasihan orang di dalam perjalanan. Dan ketiga,
jika orang-orang memberikan sesuatu, kita tidak boleh
menerimanya.”
“Pergi tanpa perbekalan dan tidak meminta-minta dalam
perjalanan, dapat kami terima,” jawab mereka. “Tetapi
apabila orang-orang lain memberikan sesuatu, mengapa
kita tidak boleh menerimanya?”
“Sebenarnya kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah,
tetapi kepada perbekalan yang kalian bawa,” cela Bisyr
kepada mereka.
Suatu hari orang-orang berkumpul mendengarkan Bisyr
memberikan ceramah mengenai rasa puas. Salah seorang di
antara pendengar mencela:
“Abu Nashr! Engkau tidak mau menerima pemberian orang
karena ingin dimuliakan. Jika engkau benar-benar
melakukan penyangkalan diri dan memalingkan wajahmu dari
dunia ini, maka terimalah sumbangan-sumbangan yang
diberikan kepadamu agar engkau tidak lagi dipandang
sebagai orang yang mulia. Kemudian secara sembunyi,
berikanlah semua itu kepada orang-orang miskin. Setelah
itu, jangan engkau goyah dalam kepasrahan kepada Allah,
dan terimalah nafkahmu dari alam ghaib.”
Murid-murid Bisyr sangat terkesan mendengar kata-kata
ini.
“Camkanlah oleh kalian!” Jawab Bisyr. “Orang-orang
miskin terbagi atas tiga golongan. Golongan pertama
adalah orang-orang miskin yang tak pernah meminta-minta
dan apabila mereka diberikan sesuatu mereka menolaknya.
Orang-orang seperti ini adalah para spiritualis.
Seandainya orang-orang seperti ini meminta kepada Allah,
niscaya Allah akan mengabulkan segala permintaan mereka.
Golongan kedua adalah orang-orang miskin yang tak pernah
meminta-minta, tetapi apabila kepada mereka diberikan
sesuatu, mereka masih mau menerimanya. Mereka ini berada
ditengah-tengah. Mereka adalah orang-orang yang teguh
didalam kepasrahan kepada Allah. Mereka inilah yang akan
dijamu oleh Allah di dalam syurga. Golongan ketiga
adalah orang-orang miskin yang duduk dengan sabar
menantikan pemberian orang sesuai dengan kesanggupan,
tetapi mereka menolak godaa-godaan hawa nafsu.”
“Aku puas dengan keteranganmu tersebut,” kata orang yang
tadi mencela.
“Semoga Allah juga puas denganmu!”
WAFATNYA MANUSIA BERKAKI TELANJANG
Suatu malam, ketika Bisyr sedang terbaring manantikan
ajalnya di tahun 227 H/841 M, tiba-tiba datang seseorang
dan mengeluh tentang nasibnya yang malang. Bisyr
melepaskan dan memberikan pakaiannya kepada lelaki itu.
Dia sendiri lalu memakai baju yang dipinjamnya dari
salah seorang sahabatnya. Dengan mengenakan pakaian
pinjaman itulah, kekasih Allah ini berpindah ke alam
baqa’.
Di tempat lain, seorang lelaki melihat keledai yang
dibawanya membuang kotoran di atas jalan. Padahal selama
Bisyr masih hidup, tak ada keledai yang membuang
kotorannya di jalan-jalan Kota Baghdad karena
menghormati Bisyr yang berjalan dengan kaki telanjang.
Melihat kenyataan tersebut, spontan lelaki itu berseru:
“Wahai, Bisyr telah tiada!”
Mendengar seruan itu, orang-orangpun pergi menyelidiki.
Ternyata kata-katanya itu terbukti kebenarannya. Lalu
kepadanya ditanyakan bagaimana ia bisa tahu bahwa Bisyr
telah meninggal dunia?
“Karena selama Bisyr masih hidup, tak pernah ada kotoran
keledai terlihat di jalan-jalan Kota Baghdad. Tadi aku
melihat kenyataan itu telah berubah, maka tahulah aku
bahwa Bisyr telah tiada.” Allahu a’lam. (Var).
Diambil dari Majalah AHAM EDISI 73 TH.X SYAWAL 1428 |
|
|