- ”Kekuatan seseorang
itu tidak diperagakan lewat kemampuanya berkelahi. Tapi kekuatan
seseorang itu terletak pada kemampuanya mengendalikan diri saat
marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan keutamaan menahan diri dan menahan marah. Orang
yang mampu menahan marah saat kondisi dirinya bisa melakukanya, maka
ia mendapatkan kemualiaan disisi Allah SWT. Sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadits:
- ”Barangsiapa menahan
marah ketika dia mampu melangsungkanya, maka Allah memanggilnya pada
hari kiamat di hadapan makhluk, lalu dia memberi pilihan kepadanya
untuk menikmati bidadari manapun yang dia inginkan.” (HR. Tirmidzi)
Himpitan ekonomi, fisik dan fikiran yang lelah oleh pekerjaan, waktu
yang sedikit dan tugas yang banyak, mudah menjadikan orang sempit dada
serta tersulut kemarahanya.
Kepada kita yang cepat tersulut, merasa panas karena kesal, sesak dada
lalu mengumbar kata-kata kasar dan kotor atas sebuah keadaan, atau
bahkan melampiaskan kemarahan dengan tangan, Rasulullah SAW berpesan, ”Jangan marah, jangan marah, jangan marah.” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW mengajak kita berfikir sebelum berbuat dan menasehati
kita untuk berbuat bijaksana. Karena, mungkin saja kita salah faham,
salah infromasi. Mungkin juga ada orang yang niatnya baik, namun
keliru menyampaikanya.
Marah itu dari syaitan. Sedang syaitan diciptakan dari api. Jadi,
kemarahan itu adalah api syaitan yang membakar dalam hati kita. Api
itu yang bisa membakar dan melahap kehormatan dan kemuliaan kita. Jika
kita menahan marah, sama dengan memadamkan api. Dan jika kita
membiarkanya, berarti kita telah membiarkan api menyala-nyala lalu
melahap diri kita sendiri sampai hangus terbakar.
Kemarahan memang tidak dilarang, ia tetap dibolehkan selama ia
mempunyai landasan yang bersih, tulus, murni karena Allah SWT.
Kemarahan bahkan harus dilakukan, pada waktu dan sasaran yang tepat.
Tapi seringnya, kita sulit membedakan mana hawa panas kemarahan yang
datang dalam diri dan mana yang dilandasi karena Allah SWT. Suasana
seperti inilah yang sangat ditakuti oleh para salafussalih.
mereka takut jika mereka terlanjur melampiaskan kemarahan yang bukan
karena Allah. Meski pada awalnya mereka marah karena Allah.
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khatthab RA mendapati seorang rakyatnya
sedang mabuk. Sayyidina Umar RA segera menangkap orang itu untuk di
hukum. Si pemabuk tadi ternyata tidak menyukai tindakan Sayyidina Umar
RA. Setelah di caci, sang Khalifah melepas tangan orang itu lalu
pergi meninggalkanya. Kahlifah Umar RA ditanya,
- “Yaa Amirul Mukminin, kenapa setelah engkau dicaci justru engkau membiarkan orang itu?” Khalifah Umar RA berkata, ”Aku
meninggalkanya karena ia telah membuatku marah. Andai aku tetap
menghukumnya, berarti amarahku telah menguasai jiwaku. Aku tak ingin
jika aku memukul seorang Muslim, terdapat unsur nafsuku di dalamnya.” (Al Mustathraf: 279)
Yang terakhir. Kita harus tetap mampu mengusai jiwa. Memegang
kendalinya. Memimpin seluruh gerak-geriknya. Karena secara fikiran,
kemarahan sering tak membawa penyelesaian yang baik terhadap suatu
masalah. Dan… apabila kita sedang marah, maka lakukanlah beberapa hal:
- Isti’adzah/ membaca ta’awudz (meminta perlidungan kepada Allah) karena marah itu pada umumnya merupakan bagian dari hasutan syaitan.
- Wudhu, akan memadamkan marah. Sebagaimana hadits:
- ”Sesungguhnya
marah adalah dari syaitan dan syaitan diciptakan dari api, serta api
dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, jika salah seorang dari
kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad dalam musnadnya: 2/226).
- Merubah posisi. Ketika seseorang sedang marah, merubah posisi
memiliki pengaruh dalam meringankan kemarahan. Sebagaimana sebuah
hadits menyebutkan:
- ”Jika kamu marah ketika berdiri maka duduklah. Sedangkan jika kamu marah ketika duduk, maka berdirilah, atau berbaringlah.” HR. Ahmad dalam musnadnya: 5/152).
- Diam. Juga merupakan obat yang bisa meredakan marah.
- ”Jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah diam.” (HR. Ahmad dalam musnadnya: 1/239).