Dalam
Rangkaian Sholawat Wahidiyah terdapat beberapa poin yang menyangkaut
do’a tawasul/washilah meminta do’a restu dan bimbingan rohani kepada
Al-GHOUTSU ZAMAN atau Mursyid yang khamil-mukamil:
1. WA ILAA
HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA'AWAANIHI WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI
RODLIYALLOOHU TA'AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x)
Artinya: Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para
Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum.
Al-Fatihah 7x.
2. YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH " ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH " MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL'ALIY YAH.......
(3x) Artinya Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh
kuhaturkan, Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh dan arahkan
pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii, radiasi batin yang
mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku.
Berikut Peranan Al-GHOUTSU ZAMAN atau Mursyid yang khamil-mukamil dalam menuju Ma’rifat:
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru
ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak
spiritual untuk Ma’rifatullah. Dalam kitab Ulama-ulama tasawuf
disebutkan “Walaupun Gurunya ada di jagat Barat dan si Murid ada di
jagat Timur tetap bisa membimbing melalui pengalaman rohani (baik mimpi
maupun bertemu dalam keadaan mewiridkan amalanNya/ Mujahadahnya) asalkan
mewiridkan amalan tersebut”.
Tapi eksistensi dan fungsi
Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang
anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara
individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan
rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan
mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber
ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa
ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian
hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme,
hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.
Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan
oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa
menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula
menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama
Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul
Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya
sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan
seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani).
Masing-masing
ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan
kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali
atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan
agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari
amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah
ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan
ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan
mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmu
Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang
merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang
Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan
tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh
jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu
membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang
dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di
sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh
sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh
jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang
pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki
oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu
saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu
tidak menguasainya.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para
penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang
khamil-mukamil sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju
kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling
paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj,
Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi
Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi.
Hal yang
sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya,
ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as.
Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan
Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi
beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu
lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid
dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul
Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang
berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut,
dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Dari sumber yang berbeda artikel ini terdapat kesamaan dengan Artikel dokumen Grup:
1. Hakikat Nur Muhammad: http://www.facebook.com/ groups/180167492034079/doc/ 433566233360869/
2. Mujadid dan Ghauts; Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat: http://www.facebook.com/ groups/180167492034079/doc/ 383288655055294/
3. Pendapat Imam Al Ghazali Tentang Pentingnya Mursyid/ Guru yang Khamil Mukamil sebagai pembimbing: http://www.facebook.com/ groups/180167492034079/doc/ 398925280158298/ — bersama Suyadi Ebiet.
SUMBER DARI: GROUP MENGAPAI MA'RIFAT BILLAH/FB
DI POSKAN OLEH : TUSIRAN BEKASI
1. WA ILAA HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA'AWAANIHI WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI RODLIYALLOOHU TA'AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x) Artinya: Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum. Al-Fatihah 7x.
2. YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH " ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH " MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL'ALIY
Berikut Peranan Al-GHOUTSU ZAMAN atau Mursyid yang khamil-mukamil dalam menuju Ma’rifat:
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual untuk Ma’rifatullah. Dalam kitab Ulama-ulama tasawuf disebutkan “Walaupun Gurunya ada di jagat Barat dan si Murid ada di jagat Timur tetap bisa membimbing melalui pengalaman rohani (baik mimpi maupun bertemu dalam keadaan mewiridkan amalanNya/ Mujahadahnya) asalkan mewiridkan amalan tersebut”.
Tapi eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani).
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmu Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang khamil-mukamil sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi.
Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Dari sumber yang berbeda artikel ini terdapat kesamaan dengan Artikel dokumen Grup:
1. Hakikat Nur Muhammad: http://www.facebook.com/
2. Mujadid dan Ghauts; Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat: http://www.facebook.com/
3. Pendapat Imam Al Ghazali Tentang Pentingnya Mursyid/ Guru yang Khamil Mukamil sebagai pembimbing: http://www.facebook.com/