Dalam Islam, satu hal yang penting
adalah istiqomah. kata ini bearasal dari kata qomaa yang berarti
berdiri. Kemudian berubah bentuk menjadi enam huruf (sudasi) dengan
mengalami sedikit perubahan makna. Kata ini memiliki beberapa pengertian.
Pertama, istiqomah bermakna
berkesinambunganya sebuah pekerjaan. Ketika seseorang melaksanakan sebuah
amalan secara periodik dan terus-menerus sesuai dengan periode tertentu, maka
orang tersebut berarti telah melaksanakan amalan dengan istiqomah. Sebagai
lawanya dari makna ini di jawa dikenal dengan istilah dat nyeng, byar pet.
makna dari kedua kata diatas adalah beramal dengan tidak mengikuti periode
waktu yang teratur. Adakalanya hanya menggebu-nggebu pada awalnya kemudian
melemah, dan seterusnya hilang. Atau beramal dengan kualitas yang sama tapi
dengan periodisasi yang tidak teratur. Atau bisa juga dengan beramal walaupun
teratur namun dengan kualitas dan kuantitas yang tidak seragam.
Makna kedua, dari istiqomah adalah sikap untuk
konsisten dengan bentuk awal dari pekerjaan atau amalan. Ketika seseorang
menekuni suatu bidang pekerjaan atau tanpa memperdulikan hambatan dan
tantangan, maka ia disebut dengan istiqomah. Sebagai lawan dari makna ini
adalah sikap untuk berganti-ganti pekerjaan atau amalan. Hampir sama dengan
lawan pengertian pertama di atas, hanya saja pada makna kedua ini, seseorang
tetap melakukan pekerjaan atau amalan, namun dengan bentuk yang berbeda.
Rasulullah SAW mengajarkan sikap istiqomah ini. Bahkan beliau SAW
menyebutnya sebagai sikap keberagaman yang paling disukai
Allah SWT. Dalam hal ini beliau SAW bersabda:
”Demi
Allah, Allah tidak akan bosan menerima amal kalian hingga kalian bosan. Adapun
amal yang paling disukai-Nya adalah apa-apa yang dilakukan terus-menerus oleh
pelakunya.” (HR. Muttafaq Alaih)
Dalam menjaga istiqomah ini pula, maka Rasulullah SAW menganjurkan
bagi mereka yang karena suatu hal tidak rutin melakukan amalanya untuk
menyusulkan amalan tersebut. Dalam hal ini baliau bersabda:
”Barangsiapa
yang tertidur dimalam hari (sehingga tidak melakukan amalan malamnya), kemudian
ia membacanya (dengan menyusulkan) antara waktu subuh dan dhuhur, maka ia
dicatat seolah-olah membacanya di waktu malam.” (HR. Muslim)
Pada bagian lain Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Umar
RA:
”Wahai
Abdullah, janganlah engkau seperti fulan. Ia bangun tengah malam (shalat malam)
kemudian (di lain waktu) meninggalkan shalat malam.” (HR. Muslim)
PERAN ISTIQOMAH DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH
Sebagaimana sering disitir oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul
Latif Madjid RA. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren
Kedunglo, bahwa hakikat dari perjuangan Wahidiyah adalah Perjuangan
Rasulullah SAW. Atau dengan kata lain bahwa hakikat dari perjuangan
Wahidiyah adalah perjuangan Islam itu sendiri. Sehingga dengan demikian,
perjuangan Wahidiyah memiliki medan cakupan luas.
Cakupan perjuangan Wahidiyah meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Ada aspek spiritual, ada aspek syariah, ada aspek ekonomi, ada aspek
pendidikan dan masih banyak aspek-aspek yang lain. Karena itulah, perjuangan
yang luas medanya ini tidak cukup membutuhkan waktu satu atau dua tahun. Bahkan
bisa puluhan tahun. Dan andaikan perjuangan tersebut telah mencapai target
sasarannya, masih ada perjuangan baru yang jauh lebih berat lagi. Yaitu
perjuangan untuk mempertahankan capaian-capaian tersebut.
Dari sinilah, kita tahu bahwa perjuangan Wahidiyah memerlukan
kader-kader yang sanggup untuk berjuang secara terus-menerus. Di mana mereka
mencurahkan waktunya, baik siang atau malam, suka ataupun duka, untuk
terus-menerus berjuang dibelakang Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif
Madjid RA, ila yaumil qiyamah
Di samping itu, sebagai sebuah perjuangan, Wahidiyah juga mesti
bergerak secara istiqomah (konsisten dan berkesinambungan) sebagaimana telah
diarahkan sasaranya oleh Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Madjid RA.
Ketika kemudian terjadi pembelokan arah perjuangan, maka hal ini terjadi
pembelokan arah perjuangan, maka hal ini membawa akibat dua akibat yang fatal
dan merugikan.
Pertama, adalah akan tersia-sianya perjuangan yang dengan susah payah
dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Ibarat seorang yang akan membangun
masjid, ketika masjid tersebut hampir jadi ternyata kemudian dialih fungsikan
menjadi restoran. Betapa sia-sianya tetes keringat para tukang dan kuli serta
uang yang diinfaqkan oleh para dermawan bagi pembangunan masjid.
Demikian pula dengan Wahidiyah. Jika proses transfer semangat
perjuangan kepada kader-kader perjuangan tidak berjalan baik, bukan tidak
mungkin Wahidiyah akan jatuh kedudukanya. Dari sebelumnya sebagai wadah dan
kendaraan pembinaan umat untuk sadar kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW menjadi
sebuah kendaraan politik atau lembaga pengumpul modal umat. Sudah tentu hal ini
akan membuat perjuangan para pendahulu akan tersia-sia.
Kedua, pembelokan arah dan sasaran perjuangan akan menimbulkan
kehancuran bagi generasi-generasi berikutnya. Perjuangan Wahidiyah yang oleh
Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA diarahkan sama dan seirama
dengan perjuangan Rasulullah SAW secara kaffah (menyeluruh) tentunya
akan menghasilkan masyarakat yang whusul kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Di
samping itu, perjuangan ini juga akan menghasilkan masyarakat yang tentram dan
sejahtera lahir batin.
Namun ketika arah perjuangan ini dibelokkan oleh para kader
pejuang Wahidiyah ke jalan dan sasaran lain, maka yang terjadi kemudian adalah
munculnya generasi pengikut nafsu dan Iblis. Sudah tentu, jika hal ini terjadi
maka arah perjuangan pun akan berbeda atau bahkan akan berlawanan dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA dan oleh Hadratul
Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan
Pondok Pesantren Kedunglo.
Ketiga, ketidak-istiqomahan dalam berjuang akan menimbulkan kehancuran
ummat secara umum. Wahidiyah sebagai sebuah perjuangan sudah tentu berorentasi
pada perbaikan ummat. Atau dalam bahasa dakwahnya, berorentasi pada amar
ma’ruf nahi munkar. Karena itulah, peranan Wahidiyah sangat penting bagi
masyarakat dalam rangka menyelamatkan ummat dari kehancuran. Apalagi dalam
konteks zaman ini. Dimana-mana nilai negative dari dunia barat secara bebas
masuk nyaris tanpa filter di tengah-tengah masyarakat kita.
Jika arah perjuangan Wahidiyah tidak istiqomah diatas jalan yang
telah digariskan oleh para pendahulu, maka secara otomatis ummat akan
kehilangan penuntun dan pemandu perjalanan mereka. Mereka tidak lagi dituntun
oleh “tangan-tangan Ke-Tuhanan” yang membawa mereka menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan dunia akhirat. Namun mereka dituntun oleh “tangan-tangan syetan”
yang menuntun mereka menuju kehancuran dan neraka Allah SWT.
HAL-HAL YANG MERUSAK ISTIQOMAH
Dalam perjalanan sejarah Islam, telah banyak jama’ah-jama’ah dan
lembaga perjuangan yang kemudian hancur karena tidak adanya keistiqomahan di
dalam perjuangan. Ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah lembaga perjuangan
kehilangan istiqomah di dalam perjalananya.
Pertama, adalah ketidak-tahuan penerus lembaga terhadap arah perjuangan,
idealisme dan semangat perjuangan lembaga itu sendiri. Akibatnya, lembaga
tersebut kemudian mengambil arah perjuangan dan idealisme baru yang bahkan
tidak jarang bertentangan dengan idealisme awal perjuangan.
Contoh kasus adalah apa yang menimpa Kerajaan Mataram di Jawa.
Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senopati dan mengemban Tugas
untuk melanjutkan misi Kesultanan Demak dalam Meng-Islamkan Tanah Jawa.
Idealisme ini Nampak dengan jelas pada gelar panembahan Senopati sebagai
Sayyidin Panotogomo (pemimpin dan peƱata Agama).
Di masa-masa awal Mataram, yaitu di era Panembahan Hanyokrowati
dan Sultan Agung, idealisme Islamisasi ini dilaksanakan dengan gencar. Seperti
pada pendirian masjid-masjid di seluruh wilayah kerajaan serta dekrit
pergantian penanggalan Hindu dengan penanggalan Jawa yang mengadopsi system
penanggalan Islam. Demikian juga dengan pendirian berbagai pesantren dan
pengiriman da’i-da’i berbagai tempat.
Kedua, terlenanya generasi penerus oleh kemewahan dan capaian material
yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Banyak terjadi, saat sebuah lembaga
perjuangan mulai mendeklarasikan diri, maka para pendiri rela untuk hidup
sederhana dan bahkan mengorbankan diri demi cita-cita perjuangan. Dengan
semangat dan tekad kuat ini kemudian lembaga tersebut berkembang dan
menjadi lembaga kuat. Satu dua generasi idealisme ini masih melekat dalam
kehidupan para pelaku lembaga tersebut.
Namun kemudian muncul generasi-generasi baru yang tidak pernah
mengalami kegetiran dan susah payah perjuangan menegakkan lembaga tersebut.
Yang mereka tahu saat mereka lahir adalah keberadaan sebuah lembaga yang mapan
dan kokoh dengan segala kemewahan materialnya. Keadaan ini menjadikan para
generasi penerus menjadi generasi yang lemah dan takut untuk berkeringat. Hanya
akhirnya lembaga tersebut dipimpin oeh generasi-generasi yang lemah tiada
memiliki semangat dan kemauan yang keras. Akibatnya, lembaga tersebut semakin
melemah sedikit-demi sedikit dan akhirnya hancur sama sekali.
Kasus ini menimpa Bangsa Arab hingga saat ini. Di awal-awal Islam,
Bangsa Arab terkenal sebagai bangsa prajurit. Kehidupan yang sederhana serta
kemahiran menunggang kuda, memanah, bermain pedang dan tombak menjadi ciri khas
bangsa Arab pada saat itu. Keadaan ini yang kemudian menyebabkan mereka menjadi
bangsa yang kuat serta selalu siap untuk hidup keras. Dan dengan modal inilah,
ditambah dengan semangat jihad akhirnya mereka manaklukkan berbagai bangsa dan
Negara di wilayah luas.
Kemudian munculah generasi baru yang sama sekali tidak pernah
merasakan pahit getirnya perjuangan. Mereka hanya kenal dengan kemewahan dan
kemudahan hidup. Hari-hari mereka isi dengan kesenangan dan pesta pora. Tidak
ada lagi tradisi berlatih memanah, bermain pedang atau menunggang kuda. Inilah
yang kemudian menyababkan Bangsa Arab menjadi lemah. Hingga kemudian mereka
jatuh ke dalam kontrol bangsa Turki yang memelihara tradisi kemiliteran
secara istiqomah.
Ketiga, tidak mengenal manfaat dari sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan
tentunya merupakan kegiatan yang mengeluarkan keringat dan membutuhkan kerja
keras. Namun semua itu akan dilakukan ketika sebuah komunitas mengetahui
dibalik perjuangan itu ada buah yang membahagiakan, baik itu bersifat material
maupun moral. Baik di dunia maupun di akhirat.
Kaum Muslimin pada awal Islam memiliki semangat yang menyala-nyala
untuk memperjuangkan Islam. Mereka bergerak di berbagai tempat untuk mengajak
bangsa-bangsa di dunia ini masuk Islam. Dan semua ini mereka lakukan biaya
sendiri serta dengan mengorbankan banyak waktu yang mungkin oleh orang
lain dipergunakan untuk bersenang-senang.
Hal ini karena dalam perjuangan tersebut mereka mengetahui dan
merasakan bahwa ada hasil yang akan mereka peroleh sebagai buah dari
perjuangan, terutama besok di akhirat mereka akan mendapatkan surga . hingga
kemudian munculah slogan ’Isy kariiman aw mut syhiidin (hidup mulia atau
mati sebagai syahid).
Namun kemudian munculah generasi yang kurang yakin dengan
janji-janji Allah bagi para pejuang. Mereka tidak merasa ada perbaikan nasib di
dunia setelah berjuang menegakkan keyakinan. Disisi lain mereka juga
tidak sempurna keyakinanya terhadap janji-janji kemuliaan di akhirat sebagai
balasan dari perjuangan yang mereka lakukan. Hingga akhirnya generasi tersebut
menjadi generasi yang tidak memiliki semangat juang. Mereka akhirnya hanya
menyibukkan diri untuk meraih kesenangan sesaat berdasarkan kepentingan nafsu.
Mereka tidak lagi tertarik dengan ide-ide “tinggi” yang harus mereka
perjuangkan. Jika ini sudah terjadi, maka jangan mengharap sebuah lembaga atau
jama’ah atau sebuah bangsa akan jaya. Yang dapat dipastikan adalah tinggal menunggu
sebuah kehancuran. Hanya saja kapan waktunya dan bagaimana bentuk kehancuran
itu, sejarah yang akan menceritakan. Semoga semua ini tidak terjadi pada
perjuangan Wahidiyah. Amin amin yaa Robbal Alamien. Allahu a’lam